Penurunan kualitas lahan dari waktu ke waktu menjadi isu penting dalam dunia perkebunan sawit. Indikator utama penurunan kualitas lahan adalah penurunan C-organik tanah, idealnya adalah 5%. C-organik tanah mineral sebesar 5% ini nyaris tidak bisa ditemukan lagi, kecuali di dataran abu vulkanis (sekitar gunung berapi) atau dataran endapan sungai. Untuk tanah gambut wajar C-organiknya mencapai 40%.
Pada kandungan C-organik 3 – 5%, keseimbangan ekosistem tanah masih terjaga. Mikroba tanah masih mendapat asupan makanan yang cukup dari C-organik tanah, baik mikroba menguntungkan maupun mikroba tidak menguntungkan.
Pada kandungan C-organik 1 – 3%, mulai terjadi perebutan makanan antar mikroba tanah. Entah kenapa, dikondisi ini justru keberadaan mikroba tidak menguntungkan yang banyak, seperti jamur ganoderma. Trichoderma sebagai musuh alami jamur ganoderma menjadi sedikit keberadaannya di tanah, sehingga merebaklah penyakit ganoderma di sawit.
Yang menarik untuk dibahas adalah kenapa C-organik di sawit cenderung menurun seiring waktu? Sehingga kesininya, penyakit ganoderma semakin merajalela?
PEMBENTUKAN DAN KEHILANGAN C-ORGANIK TANAH
C-organik tanah tidak menjadi unsur hara essensial bagi tanaman, tidak termasuk hara makro maupun hara mikro. Tapi bukan berarti tidak dibutuhkan tanaman.
95% biomassa tanaman disusun oleh 3 unsur utama, yaitu C, H, O yang dapat diperoleh secara gratis dari udara seperti dalam proses fotosintesis.
6CO2 + 6H2O ⇒ energi matahari ⇒ (CH2O)6 + 6O2.
Hasil dari fotosintesis, yaitu (CH2O)6 digunakan tanaman untuk membentuk rangka tubuh (biomassa) yang terdiri dari 3 senyawa dominan, yaitu selulosa (C6H10O5)n, hemiselulosa (rantai D-glukosa) dan lignin (senyawa kompleks mengandung karbon, hidrogen dan oksigen). Sebagian hasil fotosintesis dilepaskan tanaman melalui akar (disebut eksudat akar) ke areal rhizosfer (areal diseputaran perakaran) sebagai bentuk simbiosis mutualisme tanaman dengan mikroba tanah yang hidup di rhizosfer seperti mikoriza, trichoderma dll.  Eksudat akar merupakan sumber makanan dan energi yang utama bagi organisme yang hidup di rhizosfer (Zhuang et al. 2013). Mikroba tanah seperti mikoriza membantu tanaman dalam efisiensi serapan air oleh akar. Trichoderma membantu tanaman melawan mikroba berbahaya seperti ganoderma. Belum lagi simbiosis mutualisme dengan mikroba tanah lainnya.
Selama tanaman hidup, areal seputaran perakaran (rhizosfer) jadi aktif dan mikroba tanah juga hidup.
Saat tanaman mati, maka akar tanaman secara khusus yang ada didalam tanah akan terurai menjadi C-organik tanah. Sedangkan untuk batang dan daun yang ada dipermukaan tanah, ada kondisi yang harus dipenuhi agar terurai menjadi C-organik tanah.
- Bersentuhan dengan tanah yang kaya mikroba pengurai.
Tanaman yang mati karena disemprot herbisida, maka gejala awalnya adalah terhambat proses fotosintesis sehingga daun menjadi kering. Selanjutnya daun rontok ke permukaan tanah seiring kondisi batang mulai mengering. Pada tahap ini biomassa tanaman (CHO) kehilangan air (H2O) yang menguap. Berkemungkinan besar, biomassa batang akan menguap dalam bentuk karbondioksida (CO2) atau gas methan (CH4), sehingga tidak menjadi c-organik tanah.
- Kondisi permukaan tanah mendukung biomassa tanaman mengalami proses pengomposan.
Daun dan batang tanaman yang jatuh ke permukaan tanah tidak otomatis mengalami pengomposan oleh mikroba tanah. Salah satu syarat pengomposan adalah kelembaban material sekitar 60%. Jika material terlalu kering, maka mikroba pengurai tidak bisa hidup dan mendekomposisi bahan organik. Jika material terlalu basah, hanya mikroba anaerob yang mampu hidup.
Daun dan batang yang jatuh ke permukaan tanah akan tertimpa daun rontok dan tertimpa lagi dan lagi. Lapisan paling bawah, ketika kelembaban tercukupi barulah mulai mengalami dekomposisi oleh mikroba tanah, menghasilkan C-organik bagi tanah.
Pada batang atau daun dipermukaan tanah yang tidak mencapai kelembaban ideal untuk proses pengomposan, tetap akan hancur karena reaksi kimia pemanasan dan pengeringan. Daun dan batang akan hancur sangat lambat secara kimiawi, dan kecil sekali menghasilkan c-organik bagi tanah. Kemungkinan besar menguap menjadi karbon dioksida (CO2) atau gas methan (CH4).
- Reaksi dekomposisi biomassa tanaman oleh mikroba pengurai dan reaksi kimia pemanasan dan pengeringan dapat berlangsung bersamaan. Makin lama proses dekomposisinya, maka makin sedikit c-organik tanah yang dihasilkan dan semakin besar senyawa karbon yang menguap.
Perbandingan dirumpukan pelepah sawit yang disusun rapat dan padat (kondisi lembab apalagi ada nephrolepisnya) dengan rumpukan pelepah yang berserakan (renggang dan kurang lembab). Manakah yang paling banyak muncul akar makanan (feeding roots) dari tanaman sawit? Munculnya akar makanan karena keberadaan mikroba rhizosfer atau karena pelepasan hara makro dan mikro dari biomassa pelepah?
Â
 PENTINGYA MIKROBA AREAL RHIZOSFER
Mikroba tanah sebagian besar hidup diareal perakaran tanaman (rhizosfer) bersimbiosis mutualisme dengan akar. Di setiap akar tanaman pasti ada mikroba tanah tertentu yang hidup. Setiap jenis tanaman memiliki jenis mikroba tertentu yang dominan hidup di akar.
Untuk tanaman sawit yang monokultur, maka hanya mikroba tanah tertentu yang hidup diperakaran sawit. Mikroba tanah lainnya hidup diperakaran tanaman sekitar sawit yang disebut gulma. Semua gulma kecuali kelas D (toleran terhadap sawit) wajib dibasmi, sehingga kebanyakan mikroba tanah juga ikut dibasmi secara langsung maupun tidak langsung.
Seandainya, konsep pengendalian gulma bukan pembasmian, tapi menekan pertumbuhannya, maka kemungkinan besar C-organik tanah bisa dipertahankan. Yang butuhkan dari gulma sawit adalah akarnya sebagai tempat hidup mikroba tanah. Sehingga pengendalian gulma cukup memangkas batang yang ada diatas tanah, meninggalkan akarnya didalam tanah.
Proses re-growth (pertumbuhan kembali) gulma pasti tetap terjadi. Paling tidak suksesi gulma (pergantian jenis gulma yang tumbuh) tidak akan terjadi.
Dari segi manfaat, mempertahankan akar tanaman gulma, mempertahankan mikroba tanah, meningkatkan konversi biomassa tanaman menjadi c-organik tanah, hasilnya jauh lebih besar dibandingkan kekhawatiran re-growth gulma.
Dari segi biaya, biaya pengendalian re-growth gulma sangat kecil dibandingkan kerugian karena penurunan c-organik tanah.
Ketika tanaman mati, tidak lagi melakukan fotosintesis, maka tanaman tidak lagi menghasilkan eksudat akar. Mikroba tanah diseputaran rhizosfer tidak lagi mendapatkan asupan makanan dan akhirnya mati. Ketiadaan mikroba tanah mengakibatkan proses fisik kimia dan biologi tanah terganggu. Efeknya kesuburan dan kesehatan tanah terganggu, terjadilah degradasi lahan.
Keberadaan mikroba tanah diareal rhizsfer tidak hanya berpengaruh pada peningkatan C-organik tanah, tapi lebih luas mempengaruhi kualitas tanah dalam menyokong tumbuh kembang tanaman.
Diakhir tulisan ini, perlu kita menyadari pentingnya keberadaan mikroba tanah diareal rhizosfer, dan pentingnya mengkondisikan proses dekomposisi biomassa tanaman agar benar terjadi pengomposan dalam waktu cepat. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi. Aamiin.