Tulisan dimuat di Harian Medan Bisnis Edisi Senin, 17 Juli 2017 – http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2017/07/17/310628/awas-ganoderma-sang-monster-kelapa-sawit/#.WXVlEcJTLCw.link
Oleh : Heri DB
Penyakit busuk pangkal batang (BPB) atau Ganoderma boninense hingga saat ini masih tetap menjadi musuh utama perkebunan kelapa sawit di tanah air termasuk di Sumatera Utara (Sumut). Betapa tidak, penyakit yang sulit dideteksi pada stadium dini ini sangat fatal pengaruhnya pada tanaman sawit.
Lantas mengapa persoalan ganoderma tidak pernah tuntas? Praktisi Perkebunan Kelapa Sawit dan Konsultan Manajemen Perkebunan Heri DB dalam perbincangannya dengan MedanBisnis, akhir pekan lalu di Medan mengatakan, budaya mengobati (kuratif) jauh lebih banyak dibandingkan budaya pencegahan (preventif) terhadap setiap persoalan kebun.
Kebiasaan ini secara tidak sadar menjadi penyebab penanganan ganoderma yang tidak kunjung selesai, malah justru semakin bertambah parah.
Penanganan penyakit busuk pangkal batang umumnya hanya dilakukan secara parsial artinya hanya terbatas kepada yang sakit atau maksimal dilakukan terhadap blok-blok sekitarnya.
Sementara tanaman yang sehat justru tidak dilakukan perlakuan sama sekali. Sebagai akibatnya, pohon yang tahun ini dinyatakan sehat ternyata tahun berikutnya terserang juga.
“Padahal dari berbagai diskusi, seminar, workshop yang membahas tentang ganoderma sudah sangat jelas bahwa sebab utama merebaknya jamur patogen ini disebabkan “tanah yang sakit”,” kata Heri.
Disebutkannya, kalau bicara tanah sakit berarti semua lahan dan bukan hanya sebagian lahan. Tetapi anehnya, penanganannya hanya sebagian atau parsial berdasarkan simptom yang muncul.
“Inilah yang saya sebut budaya mengobati sehingga kalau belum muncul tanda-tanda serangan maka tidak perlu ada perlakuan untuk antisipasi. Sementara kita pun tahu dari berbagai literatur kalau serangan ganoderma sudah masuk ke batang maka musuh alami trichoderma tidak akan mampu menghentikannya. Tinggal tunggu kematian 1-2 tahun mendatang. Itulah pengalaman saya sebagai seorang praktisi kebun lebih dari 28 tahun,” ucap Heri.
Menurut Heri, salah satu sebab lahan sakit itu karena menurunnya bahan organik tanah sehingga jumlah dan keragaman mikroba berkurang tajam. Logikanya hampir semua lahan kondisinya hampir sama, sehingga penanganan perbaikan kesehatan terhadap lahan harus menyeluruh dan bukan parsial.
“Hal ini mudah untuk dipahami karena untuk satu generasi umur ekonomis tanaman 20 tahun saja kita sudah memasukkan pupuk kimia hampir 200 ribu ton (1 estate = 10.000 hektare) belum bahan-bahan kimia yang lain. Sementara biomasa jangkos (janjangan kosong) yang keluar dari sistem tanaman (tidak kembali ke tanah) untuk satu generasi mencapai satu juta ton. Bagaimana mungkin kondisi tanah tidak berubah setelah satu generasi,” ujarnya.
Dari hitung-hitungan angka sederhana tersebut, sebenarnya sudah sangat ‘clear’ bahwa akar pesoalan adalah “lahan sakit”.
Karena itu aplikasi trichoderma dalam upaya pengendalian ganoderma sudah seharusnya tidak menunggu munculnya tanda serangan tetapi harus dilakukan segera kepada semua tanaman baik yang sakit maupun yang belum terserang baik terhadap tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan.
“Ini yang saya sebut berpikir out of the box. Landasan berpikirnya sederhana yaitu biaya penanganan jauh lebih kecil dibandingkan risiko finansial apabila jumlah tegakan tanaman terus menurun,” jelasnya.
Kematian 10 pokok per hektare kata dia, setara dengan kerugian Rp 3 juta per hektare per tahun (asumsi produktifitas 200 kg/pokok/tahun dan harga TBS Rp 1.500 /kg).
Kalau satu estate 10.000 hektare maka kerugian sudah mencapai Rp 30 miliar per tahun. “Bagaimana kalau tegakan mati sampai 70 pokok? Maka kerugian sudah mencapai Rp 210 miliar per tahun. Dan, dalam tiga tahun kerugian finansial mencapai Rp 630 miliar. Sudah cukup untuk biaya replanting seluas 10.000 hektare. Itulah gambaran risiko apabila kita tidak keluar dari cara-cara penanganan konvensional yang hanya berpikir jangka pendek dan hemat tidak pada tempatnya,” papar Heri.
Heri juga menyarankan, untuk menjaga jumlah dan keragaman hayati termasuk trichoderma didalamnya agar memasukkan semua biomasa jangkos dalam bentuk kompos secara merata dan mengganti sebagian pupuk kimia dengan pupuk bio yang berkualitas (20%-30%).
“Dengan cara ini kita sudah memastikan bahwa lingkungan kondusif akan tercipta untuk tumbuh kembangnya keragaman hayati yang akhirnya akan meningkatkan efisiensi serapan hara oleh tanaman karena tanah mulai subur dan sehat,” ujarnya.
Kalau dulu tanah kelas satu subur dan sehat, bahan organik masih di atas tiga persen tidak ada serangan penyakit, daya dukung lahan masih hebat walaupun dimasukkan material kimia ratusan ton.
Tapi sekarang, kondisi lahan sudah berubah bahan organik sudah di bawah dua persen, tanah sakit penuh dengan spora ganoderma, umur ekonomis dari 30 tahun tinggal 15 tahun.
“Dengan perubahan kondisi lahan tersebut kita harus membuat prioritas anggaran dengan acuan prioritas penanganan lahan. Filosofinya, tanaman sehat karena akar sehat, akar sehat hanya terjadi pada lingkungan tanah yang sehat,” ucapnya.
Nah dengan demikian, tambah Heri, anggaran wajib terhadap kegiatan seperti aplikasi trichoderma ke semua tanaman, aplikasi kompos jangkos ke semua tanaman dan pemberian substitusi pupuk bio terhadap sebagian penggunaan pupuk kimia sebaiknya dihitung terlebih dahulu termasuk pemupukan kimia sesuai standar, kemudian baru anggaran lain menyesuaikan.
Menurutnya, anggaran pupuk saat ini kurang lebih Rp 7 juta per hektare per tahun atau Rp 70 miliar untuk satu estate 10.000 hektare.
“Pertanyaan besar nya berapa banyak sebenarnya pupuk yang kita berikan diserap oleh tanaman? Efisiensi serapan hara tentu berbeda antara tanah subur dan sehat dibandingkan dengan kondisi sebaliknya. Apabila efisiensi serapan hara naik 10 persen saja maka bisa dibayangkan berapa biaya bisa dihemat akibat perbaikan lahan tersebut,” jelasnya.
Karena itu, Heri mengajak para praktisi perkebunan kelapa sawit berpikir antisipatif, konstruktif dan berorientasi terhadap perbaikan lahan. Karena kondisi perkebunan kelapa sawit khusus nya Sumatera Utara akan menjadi bencana besar kalau ganoderma tidak dapat dikendalikan.
Bibit moderat toleran ganoderma (MTG) sudah ada, biofungisida berbasis trichoderma sudah ada, biomasa jangkos pun sudah ada, teknik replanting terkini sudah banyak dibahas.
“Tinggal cara pengendalian harus berani totalitas dengan konsep penggunaan bio-kontrol (trichoderma) merata ke semua tanaman,” kata Heri. (edward bangun)